Jumat, 16 Juni 2017

Eksistensialisme Jean Paul Sartre



Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memfokuskan persoalan seputar eksistensi, khususnya eksistensi manusia. Dalam hal eksistensi, Sartre merumuskan bahwa eksistensi mendahului esensi. Teori Sartre tersebut membalik tradisi filsafat Barat sejak masa Plato yang selalu menyatakan bahwa esensi mendahului eksistensi.
Donny Gahral Ardian di dalam bukunya yang berjudul Percik Pemikiran Kontemporer menjelaskan pemikiran Sartre terhadap masalah eksistensi yang membedakannya dengan filsuf-filsuf sebelumnya. Dijelaskan bahwa Sartre menganggap esensi manusia tidak bisa dijelaskan seperti halnya esensi benda-benda buatan tangan manusia (manufaktur). Contohnya, ketika seseorang melihat sebilah pisau dapur, orang tersebut langsung dapat memahami bahwa pisau dibuat oleh seseorang yang memiliki konsep di kepalanya tentang tujuan dan prosedur pembuatan pisau tersebut.
Filsuf-filsuf sebelum Sartre cenderung memandang manusia seperti pisau tadi. Mereka menjelaskan manusia sebagai produk dari Pencipta Yang Agung yaitu Tuhan. Dalam artian, sebelum manusia ada, Tuhan telah memiliki konsep tentang tujuan penciptaan manusia. Sehingga setiap individu menjadi bentuk realisasi konsepsi tertentu yang telah ada di pemahaman Tuhan sebelumnya. Tuhan dan kodrat manusia adalah dua hal yang tak terpisahkan.
Konsep pemikiran inilah yang ditentang oleh Sartre. Ia lalu mengambil jalur ateisme. Ia mencoba meniadakan Tuhan. Menurut logikanya, “jika Tuhan tidak ada, otomatis manusia pun bebas dari beban kodratnya, karena tidak ada Tuhan yang terus-menerus mengawasinya”. Sartre menegaskan bahwa sejatinya manusia pertama-tama ada dan kemudian mewujudkan esensi/makna/kodratnya. Manusia adalah semata-mata apa yang dibentuknya sendiri dan memiliki derajat yang lebih tinggi dari makhluk lainnya karena tidak memiliki kodrat yang sudah ditentukan sebelumnya. Intinya, manusia adalah makhluk yang bebas untuk mewujudkan esensinya sendiri.
  • Kesadaran
Konsepsi mengenai kesadaran sangat penting dipahami terlebih dahulu untuk memahami eksistensialisme Sartre. Kesadaran menurut Sartre adalah kosong tanpa muatan. Pendapatnya ini juga merupakan kritik terhadap Descartes yang membendakan kesadaran dengan menganggapnya sebagai substansi. Kesadaran manusia bukan substansi. Ia tidak memiliki muatan dan kepadatan seperti halnya benda-benda melainkan kosong.
Sartre mengemukakan adanya tiga sifat kesadaran. Pertama, kesadaran bersifat spontan artinya kesadaran itu dihasilkan bukan dari ego atau kesadaran lain atau dengan kata lain menghasilkan dirinya sendiri. Kedua, kesadaran bersifat absolut artinya bukan objek bagi sesuatu yang lain atau dengan kata lain kesadaran selalu ada bagi dirinya sendiri. Ketiga, kesadaran bersifat transparan, artinya kesadaran mampu menyadari dirinya. Hanya manusia yang memiliki kemampuan menyadari dirinya, maka kesadaran diri adalah modus eksistensi manusia yang membedakannya dengan modus eksistensi benda-benda.
Kesadaran membawa manusia pada dua tipe eksistensi yaitu être en soi (ada pada dirinya) dan être pour soi (ada bagi dirinya). Être en soi merupakan tipe eksistensi benda-benda yang tak berkesadaran dan padat tanpa celah. Kepadatan benda-benda membuatnya tak mungkin “menjadi”. “Menjadi” dalam hal ini diartikan sebagai ada yang belum mewujudkan dirinya tetapi sekaligus lepas dari adanya sekarang. Sedang être pour soi adalah yang berkesadaran dan kosong.
  • Waktu
Sartre menolak konsepsi waktu yang spasial, yaitu rentetan titik-titik dalam rentang masa. Maksudnya, titik pasti sekarang tidak pernah dapat ditentukan. Masa lalu, saat ini, dan masa depan bukan tiga entitas yang terpisah, melainkan saling berhubungan. Konsep Sartre mengenai waktu pada dasarnya berhubungan dengan dua tipe eksistensi etre-en-soi dan etre-pour-soi. Masa lalu adalah etre en soi, karena tidak dapat diubah, sedangkan masa kini adalah etre pour soi karena terbuka pada segala kemungkinan.
  • Kebebasan
“Manusia terkutuk bebas” merupakan kalimat Sartre yang diingat hingga saat ini.
Kebebasan itu pertama dikarenakan, manusia tidak memiliki kodrat yang ditanamkan oleh Tuhan atau dengan kata lain Sartre meniadakan Tuhan, maka manusia bebas. Kedua, manusia adalah makhluk berkesadaran, sehingga ia bercirikan kekosongan, berlawanan dengan kepadatan benda-benda. Manusia tidak pernah terumuskan secara tuntas. Karena manusia selalu berongga, maka manusia bebas. Meskipun demkian Sartre beranggapan kebebasan bukan berarti tanpa tanggung jawab, kebebasan justru mengindikasikan tanggung jawab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar