Eksistensialisme adalah aliran
filsafat yang memfokuskan persoalan seputar eksistensi, khususnya eksistensi
manusia. Dalam hal eksistensi, Sartre merumuskan bahwa eksistensi mendahului
esensi. Teori Sartre tersebut membalik tradisi filsafat Barat sejak masa Plato
yang selalu menyatakan bahwa esensi mendahului eksistensi.
Donny Gahral Ardian di dalam bukunya
yang berjudul Percik Pemikiran Kontemporer menjelaskan pemikiran Sartre
terhadap masalah eksistensi yang membedakannya dengan filsuf-filsuf sebelumnya.
Dijelaskan bahwa Sartre menganggap esensi manusia tidak bisa dijelaskan seperti
halnya esensi benda-benda buatan tangan manusia (manufaktur). Contohnya, ketika
seseorang melihat sebilah pisau dapur, orang tersebut langsung dapat memahami
bahwa pisau dibuat oleh seseorang yang memiliki konsep di kepalanya tentang
tujuan dan prosedur pembuatan pisau tersebut.
Filsuf-filsuf sebelum Sartre
cenderung memandang manusia seperti pisau tadi. Mereka menjelaskan manusia
sebagai produk dari Pencipta Yang Agung yaitu Tuhan. Dalam artian, sebelum
manusia ada, Tuhan telah memiliki konsep tentang tujuan penciptaan manusia.
Sehingga setiap individu menjadi bentuk realisasi konsepsi tertentu yang telah
ada di pemahaman Tuhan sebelumnya. Tuhan dan kodrat manusia adalah dua hal yang
tak terpisahkan.
Konsep pemikiran inilah yang
ditentang oleh Sartre. Ia lalu mengambil jalur ateisme. Ia mencoba meniadakan
Tuhan. Menurut logikanya, “jika Tuhan tidak ada, otomatis manusia pun bebas dari
beban kodratnya, karena tidak ada Tuhan yang terus-menerus mengawasinya”.
Sartre menegaskan bahwa sejatinya manusia pertama-tama ada dan kemudian
mewujudkan esensi/makna/kodratnya. Manusia adalah semata-mata apa yang
dibentuknya sendiri dan memiliki derajat yang lebih tinggi dari makhluk lainnya
karena tidak memiliki kodrat yang sudah ditentukan sebelumnya. Intinya, manusia
adalah makhluk yang bebas untuk mewujudkan esensinya sendiri.
- Kesadaran
Konsepsi mengenai kesadaran sangat
penting dipahami terlebih dahulu untuk memahami eksistensialisme Sartre.
Kesadaran menurut Sartre adalah kosong tanpa muatan. Pendapatnya ini juga
merupakan kritik terhadap Descartes yang membendakan kesadaran dengan menganggapnya
sebagai substansi. Kesadaran manusia bukan substansi. Ia tidak memiliki muatan
dan kepadatan seperti halnya benda-benda melainkan kosong.
Sartre mengemukakan adanya tiga
sifat kesadaran. Pertama, kesadaran bersifat spontan artinya kesadaran itu dihasilkan
bukan dari ego atau kesadaran lain atau dengan kata lain menghasilkan dirinya
sendiri. Kedua, kesadaran bersifat absolut artinya bukan objek bagi sesuatu
yang lain atau dengan kata lain kesadaran selalu ada bagi dirinya sendiri.
Ketiga, kesadaran bersifat transparan, artinya kesadaran mampu menyadari
dirinya. Hanya manusia yang memiliki kemampuan menyadari dirinya, maka
kesadaran diri adalah modus eksistensi manusia yang membedakannya dengan modus
eksistensi benda-benda.
Kesadaran membawa manusia pada dua
tipe eksistensi yaitu être en soi (ada pada dirinya) dan être pour
soi (ada bagi dirinya). Être en soi merupakan tipe eksistensi
benda-benda yang tak berkesadaran dan padat tanpa celah. Kepadatan benda-benda
membuatnya tak mungkin “menjadi”. “Menjadi” dalam hal ini diartikan sebagai ada
yang belum mewujudkan dirinya tetapi sekaligus lepas dari adanya sekarang.
Sedang être pour soi adalah yang berkesadaran dan kosong.
- Waktu
Sartre menolak konsepsi waktu yang
spasial, yaitu rentetan titik-titik dalam rentang masa. Maksudnya, titik pasti
sekarang tidak pernah dapat ditentukan. Masa lalu, saat ini, dan masa depan
bukan tiga entitas yang terpisah, melainkan saling berhubungan. Konsep Sartre
mengenai waktu pada dasarnya berhubungan dengan dua tipe eksistensi etre-en-soi
dan etre-pour-soi. Masa lalu adalah etre en soi, karena tidak dapat diubah,
sedangkan masa kini adalah etre pour soi karena terbuka pada segala
kemungkinan.
- Kebebasan
“Manusia terkutuk bebas” merupakan
kalimat Sartre yang diingat hingga saat ini.
Kebebasan itu pertama dikarenakan,
manusia tidak memiliki kodrat yang ditanamkan oleh Tuhan atau dengan kata lain
Sartre meniadakan Tuhan, maka manusia bebas. Kedua, manusia adalah makhluk
berkesadaran, sehingga ia bercirikan kekosongan, berlawanan dengan kepadatan
benda-benda. Manusia tidak pernah terumuskan secara tuntas. Karena manusia
selalu berongga, maka manusia bebas. Meskipun demkian Sartre beranggapan
kebebasan bukan berarti tanpa tanggung jawab, kebebasan justru mengindikasikan
tanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar