Jumat, 19 Mei 2017

Kehendak Berkuasa menurut Nitzsche

Ada yang baru kenal Friedrich Nietzsche..
Okeh kalian tidak sendiri, karena saya juga
Lihat tuh kumisnya !! Membawa luka kan ? wkwkwkkw
Nih orangnya kalau pengen lihat hehe

Okeh mari kita lebih mengenal sedikit tentang beliauuu .....
Ikutin cates yaa teman teman wkwkwk

Friedrich Wilhelm Nietzsche atau yang lebih kita kenal dengan Nietzsche adalah seorang filsafat yang cukup berkontribusi bagi dunia kefilsafatan.
Nietzsche lahir di saxony, prussia 15 Oktober 1844, ia merupakan anak seorang pendeta Lutheran Carl Ludwig Nietzsche.

Cukup sampai disini, mari kita langsung saja pada intinya ya biar ga lama lama.

Kehendak berkuasa, dari namanya aja "Berkuasa" bisa dibilang ini tentang kekuasaan tahta, keinginan dll.

Konsep kehendak untuk berkuasa (the will to power) adalah salah satu konsep yang paling banyak menarik perhatian dari pemikiran Nietzsche. Dengan konsep ini ia bisa dikategorikan sebagai seorang pemikir naturalistik (naturalistic thinker), yakni yang melihat manusia tidak lebih dari sekedar insting-insting alamiahnya (natural instincts) yang mirip dengan hewan, maupun mahluk hidup lainnya

Nietzsche dengan jelas menyatakan penolakannya pada berbagai konsep filsafat tradisional, seperti kehendak bebas (free will), substansi (substance), kesatuan, jiwa, dan sebagainya. Ia mengajak kita memandang diri kita sendiri sebagai manusia dengan cara-cara baru.

Nietzsche terkenal sebagai filsuf yang melihat dunia secara positif. Ia menyarankan supaya kita memeluk dunia, dengan segala aspeknya, dan merayakan kehidupan. Dunia dan kehidupan adalah suatu permainan yang tidak memiliki kebenaran, tidak memiliki awal, serta selalu terbuka untuk dimaknai dan ditafsirkan. Dunia bukanlah melulu milik manusia untuk dikuasai dan digunakan, melainkan memiliki nilai pada dirinya sendiri. Dengan kata lain dunia memiliki nilai kosmik, dan tak semata antropomorfik. Manusia harus belajar melihat alam tidak melulu dari kaca matanya sendiri, tetapi juga dari kaca mata alam itu sendiri. Dari kaca mata alam, kehidupan ini sendiri adalah kehendak untuk berkuasa. Maka kehendak berkuasa adalah “afirmasi yang penuh suka cita pada hidup itu sendiri.”[6]Hidup memang tak bertujuan dan tak memiliki nilai. Namun manusia diminta untuk menerima dan merayakannya sepenuh hati.
Sebagai bagian dari dunia yang dimotori kehendak untuk berkuasa, manusia pun tidak lagi dipandang sebagai mahluk rasional, melainkan sebagai mahluk yang hidup dengan rasa dan sensasi-sensasi (sensational being) yang diterimanya dari dunia. Sensasi itu mendorong manusia untuk mencipta dunia (world-creating activity). Jadi karena dikelilingi oleh kehendak untuk berkuasa, manusia pun terdorong untuk mencipta dunia. Tindak mencipta dianggap sebagai dorongan alamiah, dan bahkan kebutuhan eksistensial manusia. Dalam arti ini manusia bukanlah subyek seutuhnya, karena ia adalah bentuk konkret saja dari kehendak untuk berkuasa. Manusia adalah subyek yang bukan subyek. Manusia dan dunia adalah cerminan dari kehendak untuk berkuasa. Pemahaman Nietzsche tentang ini didapatkan dari pola berpikir metafisisnya, bahwa hakekat dari sesuatu bisa dilihat dari efek-efek yang ditimbulkannya. Hakekat dari dunia dan manusia adalah efek-efek yang ditimbulkannya, yakni penciptaan. Penciptaan hanya mungkin jika entitas tersebut memiliki kuasa.
Pemikiran Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa bukanlah sebuah pandangan dunia yang sistematis (systematic worldview). Konsep ini lebih merupakan upayanya untuk menyibak berbagai situasi di dalam dunia, dan menemukan apa yang menjadi dasar dari semuanya. Maka konsep ini tidak bisa diperlakukan sebagai konsep metafisika tradisional, entah sebagai arche di dalam filsafat Yunani Kuno, atau substansi.[7] Menurut Porter konsep kehendak berkuasa, yang dirumuskan oleh Nietzsche, adalah sebuah simbol dari kegagalan manusia untuk memahami hakekat terdalam dari realitas. Artinya pengetahuan manusia itu terbatas, sehingga tak mampu untuk memahami dunia seutuhnya. Dalam konteks ini Nietzsche kemudian menawarkan sebuah pemahaman yang lebih “puitis” tentang hakekat dunia yang memang tak bisa sepenuhnya tertangkap oleh akal budi manusia.[8] Konsep kehendak untuk berkuasa tidak lahir dari penalaran rasional, tetapi dari imajinasi manusia yang melihat dan tinggal di dalam dunia. Bisa dibilang bahwa Nietzsche hendak melepaskan logos sebagai alat utama manusia untuk memahami dunia, dan menawarkan penjelasan mitologis (mythological explanation) yang lebih imajinatif, deskriptif, dan kaya di dalam memahami dunia. Akal budi (reason) menyempitkan dunia, sementara imajinasi dan rasa menangkap kerumitannya, dan merayakannya.
Nietzsche sendiri tidak pernah menyatakan, bahwa konsepnya tentang kehendak untuk berkuasa adalah suatu mitos. Konsep ini lahir dan berkembang, ketika ia membahas pemikiran Schopenhauer, bahwa dunia adalah representasi dari kehendak dan ide manusia (world as will and representation).[9] Walaupun begitu kita tetap harus membedakan model berpikir dari dua filsuf besar ini. Nietzsche melihat dunia sebagai kehendak untuk berkuasa, namun bersikap optimis, dan memilih untuk merayakan kehidupan dengan segala kerumitannya. Sementara Schopenhauer melihat dunia sebagai kehendak buta, bersikap pesimis, serta memilih untuk melarikan diri darinya.[10] Dua sikap ini pada hemat saya juga dapat digunakan untuk memahami mentalitas manusia jaman ini di dalam memandang kehidupan.[11] Di tengah kehidupan yang tak selalu jelas, ada orang yang memilih untuk putus asa, dan kemudian bunuh diri, atau melarikan diri ke berbagai “candu”. Namun ada pula orang yang menanggapi semua itu dengan berani, dan bahkan merayakan absurditas kehidupan itu sendiri. Sikap yang terakhir inilah yang disarankan oleh Nietzsche.
Konsep kehendak untuk berkuasa memang bersifat ambigu, dan mengundang banyak tafsiran. Di satu sisi kehendak untuk berkuasa adalah inti sari filsafat Nietzsche, yang mencakup sikap merayakan hidup dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya, dan keberpihakan ada energi-energi mabuk khas Dionysian yang selama ini ditekan oleh agama dan moral tradisional. Di sisi lain konsep itu juga bisa dilihat sebagai simbol dari kritiknya terhadap modernitas, yang dianggap telah menyempitkan kekayaan diri manusia semata pada akal budinya, dan telah memasung manusia menjadi subyek yang patuh pada tata hukum dan moral yang mengikat daya-daya hidupnya. Pada hemat saya dengan konsep kehendak untuk berkuasa, Nietzsche ingin membongkar kemunafikan manusia modern, yang walaupun merindukan dan menghasrati kekuasaan, berpura-pura menolaknya, karena alasan-alasan moral. Penolakan ini menciptakan ketegangan di dalam diri manusia, karena ia sedang melawan dorongan alamiahnya sendiri. Ia menolak kekuasaan namun menghasratinya. Tegangan yang tak terselesaikan ini menghasilkan kemunafikan-kemunafikan yang amat gampang ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari manusia. Nietzsche mengajak kita untuk menerima diri kita apa adanya, tidak menolak, atau bahkan mengutuk, apa yang sesungguhnya merupakan dorongan alamiah kita sebagai manusia, yakni kekuasaan.[12] Dengan penerimaan semacam ini, kekuasaan tidak lagi menjadi destruktif, tetapi bisa didorong sebagai kekuatan untuk mencipta.



sumber :

https://rumahfilsafat.com/2011/12/16/manusia-dan-kehendak-untuk-berkuasa/







Tidak ada komentar:

Posting Komentar