Okeh kalian tidak sendiri, karena saya juga
Lihat tuh kumisnya !! Membawa luka kan ? wkwkwkkw
Nih orangnya kalau pengen lihat hehe
Okeh mari kita lebih mengenal sedikit tentang beliauuu .....
Ikutin cates yaa teman teman wkwkwk
Friedrich Wilhelm Nietzsche atau yang lebih kita kenal dengan Nietzsche adalah seorang filsafat yang cukup berkontribusi bagi dunia kefilsafatan.
Nietzsche lahir di saxony, prussia 15 Oktober 1844, ia merupakan anak seorang pendeta Lutheran Carl Ludwig Nietzsche.
Cukup sampai disini, mari kita langsung saja pada intinya ya biar ga lama lama.
Kehendak berkuasa, dari namanya aja "Berkuasa" bisa dibilang ini tentang kekuasaan tahta, keinginan dll.
Konsep kehendak untuk berkuasa (the will to power) adalah salah satu konsep yang paling banyak menarik perhatian dari pemikiran Nietzsche. Dengan konsep ini ia bisa dikategorikan sebagai seorang pemikir naturalistik (naturalistic thinker), yakni yang melihat manusia tidak lebih dari sekedar insting-insting alamiahnya (natural instincts) yang mirip dengan hewan, maupun mahluk hidup lainnya
Nietzsche dengan jelas menyatakan penolakannya pada berbagai
konsep filsafat tradisional, seperti kehendak bebas (free will), substansi (substance), kesatuan, jiwa, dan sebagainya. Ia mengajak
kita memandang diri kita sendiri sebagai manusia dengan cara-cara baru.
Nietzsche terkenal sebagai filsuf yang melihat dunia secara
positif. Ia menyarankan supaya kita memeluk dunia, dengan segala aspeknya, dan
merayakan kehidupan. Dunia dan kehidupan adalah suatu permainan yang tidak
memiliki kebenaran, tidak memiliki awal, serta selalu terbuka untuk dimaknai
dan ditafsirkan. Dunia bukanlah melulu milik manusia untuk dikuasai dan digunakan,
melainkan memiliki nilai pada dirinya sendiri. Dengan kata lain dunia memiliki
nilai kosmik, dan tak semata antropomorfik. Manusia harus belajar melihat alam
tidak melulu dari kaca matanya sendiri, tetapi juga dari kaca mata alam itu
sendiri. Dari kaca mata alam, kehidupan ini sendiri adalah kehendak untuk
berkuasa. Maka kehendak berkuasa adalah “afirmasi yang penuh suka cita pada
hidup itu sendiri.”[6]Hidup memang tak bertujuan dan tak memiliki nilai. Namun
manusia diminta untuk menerima dan merayakannya sepenuh hati.
Sebagai bagian dari dunia yang dimotori kehendak untuk berkuasa,
manusia pun tidak lagi dipandang sebagai mahluk rasional, melainkan sebagai
mahluk yang hidup dengan rasa dan sensasi-sensasi (sensational being) yang diterimanya dari dunia. Sensasi itu
mendorong manusia untuk mencipta dunia (world-creating activity). Jadi karena dikelilingi oleh kehendak untuk
berkuasa, manusia pun terdorong untuk mencipta dunia. Tindak mencipta dianggap
sebagai dorongan alamiah, dan bahkan kebutuhan eksistensial manusia. Dalam arti
ini manusia bukanlah subyek seutuhnya, karena ia adalah bentuk konkret saja
dari kehendak untuk berkuasa. Manusia adalah subyek yang bukan subyek. Manusia
dan dunia adalah cerminan dari kehendak untuk berkuasa. Pemahaman Nietzsche
tentang ini didapatkan dari pola berpikir metafisisnya, bahwa hakekat dari
sesuatu bisa dilihat dari efek-efek yang ditimbulkannya. Hakekat dari dunia dan
manusia adalah efek-efek yang ditimbulkannya, yakni penciptaan. Penciptaan
hanya mungkin jika entitas tersebut memiliki kuasa.
Pemikiran Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa bukanlah
sebuah pandangan dunia yang sistematis (systematic worldview). Konsep ini lebih merupakan upayanya untuk
menyibak berbagai situasi di dalam dunia, dan menemukan apa yang menjadi dasar
dari semuanya. Maka konsep ini tidak bisa diperlakukan sebagai konsep
metafisika tradisional, entah sebagai arche di dalam filsafat Yunani Kuno, atau substansi.[7] Menurut Porter konsep kehendak berkuasa, yang
dirumuskan oleh Nietzsche, adalah sebuah simbol dari kegagalan manusia untuk
memahami hakekat terdalam dari realitas. Artinya pengetahuan manusia itu
terbatas, sehingga tak mampu untuk memahami dunia seutuhnya. Dalam konteks ini
Nietzsche kemudian menawarkan sebuah pemahaman yang lebih “puitis” tentang
hakekat dunia yang memang tak bisa sepenuhnya tertangkap oleh akal budi
manusia.[8] Konsep kehendak untuk berkuasa tidak lahir dari
penalaran rasional, tetapi dari imajinasi manusia yang melihat dan tinggal di
dalam dunia. Bisa dibilang bahwa Nietzsche hendak melepaskan logos sebagai alat utama manusia untuk memahami
dunia, dan menawarkan penjelasan mitologis (mythological explanation) yang lebih imajinatif, deskriptif, dan kaya
di dalam memahami dunia. Akal budi (reason) menyempitkan dunia, sementara imajinasi dan
rasa menangkap kerumitannya, dan merayakannya.
Nietzsche sendiri tidak pernah menyatakan, bahwa konsepnya
tentang kehendak untuk berkuasa adalah suatu mitos. Konsep ini lahir dan
berkembang, ketika ia membahas pemikiran Schopenhauer, bahwa dunia adalah
representasi dari kehendak dan ide manusia (world as will and
representation).[9] Walaupun begitu kita tetap harus membedakan model
berpikir dari dua filsuf besar ini. Nietzsche melihat dunia sebagai kehendak
untuk berkuasa, namun bersikap optimis, dan memilih untuk merayakan kehidupan
dengan segala kerumitannya. Sementara Schopenhauer melihat dunia sebagai
kehendak buta, bersikap pesimis, serta memilih untuk melarikan diri darinya.[10] Dua sikap ini pada hemat saya juga dapat digunakan
untuk memahami mentalitas manusia jaman ini di dalam memandang kehidupan.[11] Di tengah kehidupan yang tak selalu jelas, ada orang
yang memilih untuk putus asa, dan kemudian bunuh diri, atau melarikan diri ke
berbagai “candu”. Namun ada pula orang yang menanggapi semua itu dengan berani,
dan bahkan merayakan absurditas kehidupan itu sendiri. Sikap yang terakhir
inilah yang disarankan oleh Nietzsche.
Konsep kehendak untuk berkuasa memang bersifat ambigu, dan
mengundang banyak tafsiran. Di satu sisi kehendak untuk berkuasa adalah inti
sari filsafat Nietzsche, yang mencakup sikap merayakan hidup dengan segala
sesuatu yang ada di dalamnya, dan keberpihakan ada energi-energi mabuk khas
Dionysian yang selama ini ditekan oleh agama dan moral tradisional. Di sisi
lain konsep itu juga bisa dilihat sebagai simbol dari kritiknya terhadap modernitas,
yang dianggap telah menyempitkan kekayaan diri manusia semata pada akal
budinya, dan telah memasung manusia menjadi subyek yang patuh pada tata hukum
dan moral yang mengikat daya-daya hidupnya. Pada hemat saya dengan konsep
kehendak untuk berkuasa, Nietzsche ingin membongkar kemunafikan manusia modern,
yang walaupun merindukan dan menghasrati kekuasaan, berpura-pura menolaknya,
karena alasan-alasan moral. Penolakan ini menciptakan ketegangan di dalam diri
manusia, karena ia sedang melawan dorongan alamiahnya sendiri. Ia menolak
kekuasaan namun menghasratinya. Tegangan yang tak terselesaikan ini
menghasilkan kemunafikan-kemunafikan yang amat gampang ditemukan di dalam
kehidupan sehari-hari manusia. Nietzsche mengajak kita untuk menerima diri kita
apa adanya, tidak menolak, atau bahkan mengutuk, apa yang sesungguhnya
merupakan dorongan alamiah kita sebagai manusia, yakni kekuasaan.[12] Dengan penerimaan semacam ini, kekuasaan tidak lagi
menjadi destruktif, tetapi bisa didorong sebagai kekuatan untuk mencipta.
sumber :
https://rumahfilsafat.com/2011/12/16/manusia-dan-kehendak-untuk-berkuasa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar